Karantina Wilayah vs. Kekebasan Beragama: COVID-19 adalah proses membangun kepercayaan

Mosques open in Egypt following health safety guidelines. In many places, religious groups are primary sources of comfort, information, and direct services for protecting the health and well-being of communities. EFE/EPA/Khaled Elfiqi


Menurut sejumlah laporan terkini, beberapa negara dengan cepat merespon pandemi COVID-19 melalui beberapa pembatasan terhadap sejumlah hak asasi manusia, khususnya malalui isolasi atau karantina. Pembatasan ini telah berimplikasi besar terhadap sejumlah Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk kebebasan bergerak dan berkumpul atau bersyerikat, yang kemudian berimplikasi pada hak-hak lain seperti kebebasan beragama atau berkeyakinan.

Memerangi musuh yang tidak tampak, negara-negara di dunia telah melakukan respon yang berbeda-beda. Di Malaysia, Australia dan Jepang, tempat-tempat ibadah serta-merta ditutup untuk mencegah penyebaran virus dalam perkumpulan-perkumpulan keagamaan. Saudi Arabia menutup perbatasannya bagi Jemaah haji yang sudah dalam perjalanan menuju ke tanah suci umat Islam. Karantina seluruh wilayah Italia meniscayakan masyarakat Italia untuk mendengarkan pemberkatan Pope Francis yang terlaksana di Saint Peter’s Square di Kota Vatikan dari rumah masing-masing. Di Inggris, para humanis menunda semua seremoni untuk waktu yang tidak ditentukan. Semua ini adalah contoh pembatasan-pembatasan yang bertentangan dengan hak untuk berkumpul dan beribadah di muka umum. Tapi pada saat yang sama, tak ada yang bisa menentang fakta bahwa pandemi memang meniscayakan sejumlah tindakan-tindakan keselamatan, yang hanya boleh dihentikan ketika keadaaan sudah aman.

Dalam sistem demokrasi yang berjalan dengan baik, warga negara bisa dengan proporsional meminta pemerintah untuk mencabut pembatasan sosial pada waktunya. Hanya saja, di sejumlah negara, ada kekhawatiran bahwa pandemi akan memperburuk tren authoritarian pemerintah. Terkait komunitas agama dan minoritas, hal ini bisa terjadi dalam bentuk stigmatisasi, diskriminasi dan gangguan yang terus-menerus.

Di Iran, pemerintah membebaskan 85,000 tahanan untuk mencegah penyebaran virus, tapi beberapa laporan menyebutkan bahwa sejumlah tahanan dari komunitas sufi ditempatkan di bangsal yang sesak. Di India, pandemi digunakan oleh otoritas mayoritas Hindu untuk menyasar populasi minoritas muslim yang dituduh telah memicu peningkatan kasus Corona. Di Georgia, otoritas mengizinkan perkumpulan religius bagi Kristen ortodok saat Paskah, tapi mereka bereaksi dengan kekerasan ketika minoritas muslim ingin berkumpul di saat Ramadhan.

Di lingkungan yang skeptis, membuat masyarakat menerima pembatasan dalam kehidupan mereka mungkin lebih sulit bagi pemerintah.

Di negara-negara di mana pemimpin dan politisi punya sejarah dalam memprioritaskan kepentingan privat dibanding kepentingan publik, tingkat kepercayaan publik atas kepemimpinan akan cenderung rendah. Dalam konteks ini, warga negara cenderung mengalami pembatasan lebih lanjut, di samping pembatasan yang sudah mereka hadapi dengan rasa takut dan kecurigaan.  Integritas pejabat publik akan dipertanyakan karena mereka tidak menyediakan layanan publik yang cukup, seperti layanan kesehatan. Di negara sarupa itu, warga negara memiliki beberapa, jika ada, pengalaman positif dengan negaranya. Nasihat dan upaya-upaya untuk kesehatan publik terkadang diabaikan, karena sulit, atau bahkan tidak mungkin untuk diimplementasikan atau warga negara tidak sepenuhnya yakin dengan niat pemerintah.

Dalam wawancara dengan Penyiar Umum Norwegia/Norwegian Public Broadcaster (NRK), seorang lelaki muda di Nigeria menolak untuk menerima segala jenis pelanggaran atas haknya untuk melaksanakan ibadah publiknya di Masjid. Dia menyebutkan bahwa dia yakin bahwa Tuhan melindunginya dari virus. Dan dia tidak menerima pemerintah mendikte apa yang perlu dia lakukan. Di Argentina, gereja evangelical dibuka sebagai bentuk protes terhadap karantina wilayah yang terus ditetapkan oleh pemerintah terkait peribadatan, meski pembatasan-pembatasan lainnya mulai dicabut. Hal yang sama, di beberapa wilayah di Amerika Serikat, para pendeta terus mengadakan peribadatan dengan justifikasi bahwa peribadatan tersebut adalah esensial.

Di lingkungan yang skeptis, membuat masyarakat menerima pembatasan dalam kehidupan mereka mungkin lebih sulit bagi pemerintah. Berbeda hal jika melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh, seperti tokoh-tokoh keagamaan dan kepercayaan lokal, dengan memberikan peran bagi mereka dalam mendukung upaya-upaya yang bisa membantu mengatasi virus. Hanya saja di negara-negara di mana tingkat kepercayaan pada politisi relatif rendah, kerjasama yang layak antara pemerintah dan berbagai segmen masyarakat kemungkinan akan bermasalah. Di artikel terkini, peneliti- peneliti Norwegia menekankan pentingnya peran para pemuka agama dalam memerangi COVID-19. Di Norwegia, para pemuka agama dan komunitas kepercayaan bersama-sama dengan pemerintah mengatasi penyebaran pandemi. Contohnya, masjid-masjid mengambil peran aktif dalam membatasi penyebaran virus dengan berbagi informasi dan bimbingan, dan mereka bisa menjangkau bagian dari masyarakat Norwegia yang kurang bisa dijangkau oleh pemerintah. Gereja-gereja juga dengan cepat merespon dengan beralih ke peribadatan digital.

Berbeda hal jika melibatkan tokoh-tokoh berpengaruh, seperti tokoh-tokoh keagamaan dan kepercayaan lokal, dengan memberikan peran bagi mereka dalam mendukung upaya-upaya yang bisa membantu mengatasi virus.

Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) pada tanggal 7 April menerbitkan seperangkat pedoman dan rekomendasi yang menekankan pentingnya peran pemuka agama, organisasi keagamaan/kepercayaan dan kelompok agama dalam merespon COVID-19. Pemerintah harus mengikut-sertakan masyarakat sipil, pemuka agama dan komunitas agama dalam langkah-langkah yang praktis yang membuahkan kepedulian dan perlindungan di masa krisis.

Pedoman WHO mengakui bahwa para pemuka agama, organisasi keagamaan dan komunitas keagamaan adalah “sumber utama dari kedamaian dan di beberapa negara memberikan pelayanan kesehatan dan sosial bagi komunitas yang mereka layani”. Mereka juga “membagi informasi kesehatan untuk melindungi anggota mereka sendiri dan komunitas yang luas, di mana informasi dari aktor-aktor ini cenderung lebih diterima dibandingkan dari pihak lain”. Yang terakhir, mereka juga bisa “mengadvokasi kebutuhan masyarakat yang lebih rentan.”

Menjadikan aktor-aktor sebagai mitra yang bertanggung-jawab dalam mengatasi pandemi menjadi langkah penting dalam menciptakan kepercayaan dan kerjasama yang diniscayakan bersama-sama dengan masyarakat yang luas. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pembatasan-pembatasan tidak diskriminatif terhadap suatu komunitas keagamaan dan kelompok-kelompok lain. Hal ini bisa berkontribusi pada pencegahan agar pandemi tidak berkembang menjadi krisis HAM yang berkepanjangan.