Hak keselamatan kerja di era pasca-COVID di Indonesia

EFE/EPA/MAST IRHAM


Pandemi COVID-19 telah merumahkan lebih dari dua juta pekerja di seluruh Indonesia. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan, yang bertanggung jawab atas urusan ketenagakerjaan, sebagian besar dari angka ini bergerak di sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM), ritel, garmen dan tekstil serta pariwisata dan perhotelan. Pekerja sementara juga sangat terdampak oleh pandemi ini. Pemerintah Indonesia menanggapi hal ini dengan menjanjikan insentif bagi para pekerja tersebut melalui program Kartu Pra-Kerja, di samping program-program jaminan sosial yang sudah ada.

Selama krisis global ini, kewajiban HAM utama pemerintah Indonesia adalah memberikan bantuan tunai demi menutupi hilangnya pendapatan para pekerja ketimbang pelatihan atau ketentuan lain, sesuai dengan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Selain itu, para pekerja juga berhak atas bantuan pengangguran (seperti halnya bantuan lansia atau disabilitas) atau bentuk-bentuk pesangon lainnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah memperingatkan kemungkinan implementasi yang fleksibel sesuai dengan skema-skema jaminan sosial yang ada dalam Rekomendasi No. 166, yang menyatakan bahwa “berbagai program atau skema yang berlaku dimaksudkan untuk memberikan perlindungan penghasilan bagi para pekerja yang diberhentikan dari pekerjaannya.” Namun, karena distribusi bantuan perlindungan sosial yang buruk, kebanyakan penduduk Indonesia kini bergantung pada Kartu Pra-Kerja sebagai satu-satunya harapan mereka. Kenyataannya, program ini adalah tindakan yang regresif oleh Pemerintah Indonesia yang tidak akan memenuhi apalagi melindungi hak bekerja atau hak keselamatan kerja.

Awalnya, Kartu Pra-Kerja direncanakan untuk diluncurkan pada bulan Oktober 2020, namun karena dampak ekonomi selama pandemi ini, Presiden Joko Widodo mempercepat peluncurannya, dengan target penerima kurang lebih sebanyak 5,6 juta orang. Di samping para pekerja yang diberhentikan, kartu ini juga berlaku bagi para pekerja di sektor-sektor informal dan UMKM. Program ini sendiri secara umum menawarkan berbagai pelatihan di platform digital. Peserta harus mendaftar melalui situs web prakerja.go.id dan surat lamaran mereka kemudian dinilai oleh pihak berwajib terkait. Jika terpilih – dan ini pun merupakan proses yang bermasalah – peserta kemudian diberikan uang untuk mengikuti pelatihan, sebelum menerima sertifikat dan serangkaian insentif.

Pemerintah Indonesia juga harus berfokus pada alokasi sumber daya demi menutupi kehilangan penghasilan para pekerja, terutama mereka yang ada dalam kondisi lebih rentan.

Nyatanya, program ini mengundang kritik tajam dari publik. Pemerintah Indonesia menghabiskan hingga 20 triliun rupiah (sekitar 1,4 miliar dollar AS) bukan hanya untuk insentif namun juga untuk membayar platform digital seperti penyedia layanan, yang telah meraup keuntungan signifikan dari program ini. Direktur pengurus program Kartu Pra-Kerja, Denni Purbasari, mengatakan bahwa pemerintah memilih langsung sebanyak tujuh penyedia layanan tanpa melalui proses penawaran atau pelelangan, seperti yang diwajibkan oleh legislasi.

Proses seleksi peserta program ini dan pemberian sertifikat juga terbukti bermasalah. Seorang pendiri portal berita, Agustinus Edy, memenuhi kualifikasi program meskipun menyatakan masih bekerja saat mengisi formulir pendaftaran. Agustinus pun mengikuti kelas jurnalisme, namun walau tidak menyelesaikan kelasnya, dia tetap bisa langsung mengikuti tes dan menerima sertifikat keunggulan yang ditandatangani oleh CEO Ruangguru, salah satu penyedia layanan. Program ini bukan hanya tidak memberikan keselamatan kerja dengan memastikan ada pekerjaan yang tersedia atau bahwa keterampilan peserta sesuai dengan lowongan pekerjaan yang ada; program ini juga memberikan sertifikat tanpa memeriksa apa pelatihan yang dibutuhkan sudah selesai.

Keselamatan kerja merujuk pada “perlindungan atas pekerja terhadap perubahan pada penghasilan yang diperoleh karena kehilangan pekerjaan dikarenakan gejolak perekonomian, restrukturisasi atau berhubungan dengan alasan-alasan pemecatan lainnya” seperti yang didefinisikan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Sementara itu, Komisi Eropa merujuk “keselamatan kerja” sebagai kemampuan kerja dan transisi antar pekerjaan seorang individu. Kedua konsep ini berkaitan dengan perlindungan individu terhadap hilangnya pekerjaan, sekaligus meningkatkan kemungkinan individu memperoleh penghasilan melalui pekerjaan berbayar di masa depan apabila kehilangan pekerjaan tidak dapat dihindari. 

Karu Pra-Kerja tidak menawarkan apa pun yang sudah disebutkan di atas. Program pelatihan yang diberikan tidak sesuai dengan kesempatan pekerjaan yang ada dan tidak memberikan jaminan bahwa keterampilan pekerja akan memungkinkan mereka memasuki kembali pasar pekerjaan. Sebagai contoh, program pelatihan malah lebih berfokus pada keterampilan digital tanpa penjelasan bagaimana program ini dirancang. Program ini juga tidak mempertimbangkan sektor-sektor yang kebanyakan pekerjanya terdampak oleh pandemi. Tidak jelas juga apakah pemerintah sebenarnya berkonsultasi pada penyedia pekerjaan dan perusahaan saat merekrut pekerja untuk program ini. Di samping itu, jalan menerobos yang muncul dalam proses seleksi memungkinkan orang-orang yang tidak berkualifikasi untuk turut serta dalam program ini sampai menerima sertifikat dan insentif dan pada akhirnya menodai keseluruhan program.

Peluncuran Kartu Pra-Kerja juga memudahkan para penyedia pekerjaan untuk memberhentikan karyawan mereka karena COVID-19, walaupun negara sebenarnya berkewajiban untuk memastikan bahwa pemecatan karyawan tidak boleh dilakukan sebelum mengambil tindakan preventif atau mitigasi, seperti mencari pekerjaan alternatif (Konvensi ILO No. 158). Tindakan yang dimaksud misalnya dengan membatasi penerimaan, pelatihan dan pelatihan ulang sekaligus mengurangi jam normal kerja, yang sebenarnya diperbolehkan dalam kesulitan ekonomi yang bersifat sementara, tanpa harus meminta persetujuan dari karyawan.

Meskipun kini Kartu Pra-Kerja sudah diluncurkan, bantuan tunai pemerintah dan program-program jaminan sosial lainnya masih belum didistribusikan secara merata. Dalam pernyataannya tertanggal 16 Mei 2020, Presiden Joko Widodo mengakui bahwa baru 25% bantuan tunai telah didistribusikan dan 75% pendaftar bahkan belum menerima bantuan sama sekali. Pemerintah juga melanjutkan implementasi program-program yang ada, seperti Kartu Sembako dan Kartu Harapan Keluarga (program bantuan sosial berupa tunjangan bagi keluarga miskin) sekaligus menaikkan jumlah penerima bantuan serta jumlah tunjangan yang diberikan. Meskipun begitu, meskipun berbagai program ini patut dipuji, semuanya diatur terpisah dari Kartu Pra-Kerja serta memiliki target dan keuntungan yang berbeda. Tidak jelas apakah distribusi program-program ini akan disinergikan dengan program Kartu Pra-Kerja atau apakah saat disatukan mereka memenuhi kriteria terendah bantuan sosial. Walaupun begitu, karena target penerima program-program ini berbeda, ada kemungkinan besar banyak orang tidak akan menerima bantuan yang sama karena distribusi yang bermasalah.

Program Kartu Pra-Kerja terbukti cacat dan secara umum tidak mencukupi pemenuhan hak bekerja serta hak keselamatan kerja rakyat Indonesia yang membutuhkan. Memprioritaskan peluncuran Kartu Pra-Kerja juga membahayakan sinergi dan distribusi program-program bantuan sosial yang ada, yang mampu secara langsung membantu mereka yang membutuhkan. Pemerintah Indonesia juga harus berfokus pada alokasi sumber daya demi menutupi kehilangan penghasilan para pekerja, terutama mereka yang ada dalam kondisi lebih rentan, seperti pekerja ekonomi informal, pekerja sementara serta mereka yang tidak memiliki hak atas bantuan pengangguran.

Pemerintah harus memetakan pekerja yang mengalami kehilangan penghasilan dan mengelompokkan keterampilan dan pengalaman kerja mereka, ketimbang sekadar memberikan pelatihan yang hanya memenuhi keterampilan dan pekerjaan berbasis teknologi. Pemerintah juga perlu meningkatkan kerja sama dengan penyedia pekerjaan, terutama terkait memberikan solusi terhadap kesempatan pekerjaan setelah COVID-19. Dengan mengambil langkah semacam itu, pemerintah mampu memastikan bahwa kesempatan kerja yang ada memang sesuai dengan program-program pelatihan yang diberikan, dan bahwa beragam pekerjaan yang muncul daripadanya mampu memberi penghidupan yang sesuai dengan standar hidup layak bagi para pekerja dan keluarga mereka.